A.
PLACENTA
PREVIA
1.
Pengertian
dan klasifikasi placenta previa
Placenta previa berasal dari kata
“prae” yang berarti di depan, dan “vias” yang berarti jalan. Placenta previa
adalah placenta yang berimplantasi pada Segmen Bawah Rahim (SBR) sehingga
menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum pada usia kehamilan
lebih dari 28 minggu. Placenta previa lebih banyak terjadi pada kehamilan
dnegan paritas tinggi dan pada usia di atas 30 tahun.
Sejalan dengan bertambah besarnya
rahim dan meluasnya SBR ke arah proksimal memungkinkan placenta yang
berimplantasi pada SBR ikut berpindah mengikuti perluasan SBR seolah placenta
tersebut bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam
persalinan kala I bisa mengubah luas pembukaan serviks yang tertutup oleh
placenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau klasifikasi dari placenta
previa ketika pemeriksaan dalam masa antenatal maupun intranatal, baik dengan
pemeriksaan USG maupun digital.
Klasifikasi
dari placenta previa antara lain :
·
Plasenta
previa totalis/komplit, adalah placenta yang menutupi seluruh OUI.
·
Placenta
previa parsialis, adalah placenta yang menutupi sebagian OUI.
·
Placenta
previa marginalis, adalah placenta yang tepinya berada pada pinggir OUI.
·
Placenta
letak rendah, adalah placenta yang berimplantasi pada SBR sedemikian rupa
sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari OUI.
2. Tanda-tanda dari placenta previa
·
Kehamilan
28 minggu atau lebih dengan perdarahan pervaginam yang sifatnya tidak nyeri,
dan berupa darah segar. Hal ini disebabkan oleh perdarahan sebelum minggu ke-28
memberi gambaran yang tidak berbeda dari abortus, sedangkan perdarahan pada
placenta previa disebabkan karena pergerakan antara placenta dengan dinding
rahim.
·
Perdarahan
biasanya baru terjadi pada akhir trimester kedua ke atas. Perdarahan pertama
berlangsung tidak banyak dan berhenti sendiri. Perdarahan kembali terjadi tanpa
sebab yang jelas sehingga berulang. Pada setiap pengulangan terjadi perdarahan
yang banyak.
·
Perdarahan
terjadi karena serviks dan SBR pada placenta previa lebih rapuh dan mudah
mengalami robekan.
·
Keadaan
umum sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi.
·
Sering
disertai dengan kelainan letak janin. Hali ini dipengaruhi oleh ukuran panjang
rahim yang berkurang.
·
Bagian
terendah masih tinggi/tidak masuk PAP. Hal ini karena placenta terletak pada
kutub bawah rahim, sehingga kepala tidak dapat mendekati PAP.
·
Bunyi
jantung anak biasanya ada.
·
Teraba
jaringan placenta.
3. Patofisiologi placenta previa
Placenta previa umumnya terjadi pada
usia kehamilan lanjut (TW III) dan mungkin juga lebih awal, karena mulai
terbentuknya SBR tapak placenta akan mengalami pelepasan. Dengan melebarnya
isthmus uteri menjadi SBR maka placenta yang berimplantasi disana akan
mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai rapak placenta. Begitu
juga saat serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatatation)
ada bagian tapak placenta yang terlepas. Lokasi laserasi tersebut akan terjadi
perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruangan intervilus
dari placenta.
Oleh karena pembentukan SBR itu,
perdarahan pada placenta previa pasti akan terjadi (unavoidable bleeding).
Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak karena SBR dan
serviks tidka mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang
dimilikinya sangat minimal, akibatnya pembuluh darah pada tempat itu tidak akan
tertutup dnegan sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan,
kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta maka
perdarahan akan berlangsung lebh banyak dan lebih lama. Oleh karena pembentukan
SBR berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang
kejadian perdarahan. Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri.
Pada placenta previa totalis,
perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan karena SBR terbentuk lebih dulu
pada bagian terbawah yaitu pada OUI. Sebaliknya placenta previa parsialis atau
letak rendah, perdarahan baru terjadi saat mendekati atau mulai persalinan.
Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih banyak pada
perdarahan berikutnya. Perdarahan pertama bisa terjadi pada kehamilan di bawah
30 minggu, tetapi kejadiannya lebih banyak pada kehamilan 34 minggu ke atas.
Karena terletak dekat dengan OUI, maka perdarahan lebih mudah mengalir keluar
rahim dan tidak terbentuk hematoma retro placenta. Dengan demikian sangat jarang
terjadi koagulopati pada placenta previa.
Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah dinding SBR yang tipis, mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari
trofoblast, akibatnya placenta melekat lebih kuat pada dinding uterus. Labih
sering terjadi placenta akreta, inkreta, dan perkreta, yang pertumbuhan vilinya
bisa menembus ke buli-buli dan rektum bersama placenta previa. Placenta akreta
dan inkreta lebih sering terjadi pada uterus yang sebelumnya mengalami SC. SBR
dan serviks yang rapuh dan mudah robek karena kurangnya elemen otot yang
terdapat disana. Dua kondisi ini berpotensi meningkatkan perdarahan pasca
persalinan pada placenta previa, misalnya pada kala III karena placenta sukar
terlepas dengan sempurna (retensio placenta), atau setelah uri lepas karena SBR
tidak mampu berkontraksi dengan baik.
4. Penatalaksanaan placenta previa
Ada 2 terapi, yaitu :
a.
Terapi aktif : kehamilan segera
diakhiri sebelum terjadi perdarahn yang membawa maut.
-
Cara
vaginal, yang bermaksud untuk mengadakan tekanan pada placenta dan dengan
menutup pembuluh-pembuluh darah yang terbuka.
-
Dengan
SC, dengan maksud mengosongkan rahim dapat mengadakan retraksi dan menghentikan
perdarahan. SC juga mencegah terjadinya robekan serviks yang agak sering
terjadi dengan usaha persalinan pervaginam pada placenta previa.
b. Terapi ekpektatif : jika janin masih
kecil hingga kemungkinan hidup di dunia luar baginnya kecil sekali. Sikap
ekspektatif tentu hanya dapat dibenarkan jika keadaan ibu baik dan perdarahan
sudah berhenti atau sedikit sekali. Dulu anggapan kita ialah bahwa kehamilan
dengan placenta previa harus segera diakhiri untuk menghindarkan perdarahan
yang banyak. Tetapi sekarang terapi menunggu dibenarkan dengan alas an
- Perdarahan pertama pada placenta
previa jarang fatal.
- Untuk menurunkan kematian bayi
karena prematuritas.
Syarat bagi terapi ekspektatif
adalah bahwa keadaan ibu masih baik (Hb normal) dan perdarahan tidak banyak.
Pada terapi ekspektatif kita rawat pasien di rumah sakit, sampai berat anak
kurang lebih 2500 gram, atau kehamilan sudah sampai 37 minggu. Bila kehamilan
37 minggu telah tercapai, kehamilan diakhiri dengan cara yang telah diuraikan.
Selanjutnya pada penderita placenta previa selalu harus diberikan antibiotika
mengingat kemungkinan infeksi yang besar disebabkan perdarahan dan
tindakan-tindakan intrauterin.
Tindakan apa yang kita pilih untuk pengobatan placenta
previa dan kapan pelaksanaannya tergantung pada faktor-faktor di bawah :
1)
Perdarahan banyak/sedikit
2)
Keadaan ibu dan anak
3)
Besarnya pembukaan
4)
Tingkat placenta previa
5)
Paritas
Perdarahan yang banyak, pembukaan
kecil, nulipara, dan tingkat placenta previa yang berat mendorong kita
melakukan SC, sebaliknya perdarahan yang sedang, pembukaan yang sudah besar,
multipara, dan tingkat placenta previa yang ringan serta anak yang mati
mengarahkan pad usaha pemecahan ketuban. Pada perdarahan yang sedikit dan anak
yang masih kecil dipertimbangkan terapi ekspektatif. Perlu dikemukakan cara
manapun yang diikuti, persediaan darah yang sangat menentukan.
1)
Cara-cara vaginal terdiri dari :
a)
pemecahan ketuban
b)
versi Braxton Hicks
c)
dengan cunam willett
2)
Sectio Cesarea
B. SOLUSIO PLASENTA
1.
Pengertian, Klasifikasi dan Tanda – Tanda
Solusio Plasenta
Solusio
plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta
dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium sebelum
waktunya yakni sebelum anak lahir. Adapun pengklasifikasian dari solusion
plasenta adalah
a. Ruptura sinus marginalis: Plasenta
dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja.
b. Solusio plasenta parsialis :Plasenta terlepas lebih luas dari
pada rupture sinus marginali
c. Solusio plasenta totalis : Plasenta
terlepas dari seluruh permukaan maternal.
Perdarahan yang terjadi dalam banyak kejadian akan merembes antara plasenta dan
myometrium untuk seterusnya menyelinap dibawah selaput ketuban dan akhirnya
memperoleh jalan ke kalis servikalis dan keluar melalui vagina (revealed
hemorrhage). Akan tetapi, ada kalanya, walaupun jarang, perdarahan tersebut
tidak keluar melalui vagina (concealed hemorrhage) jika :
a. Bagian plasenta sekitar perdarahan
masih melekat pada dinding rahim.
b. Selaput ketuban masih melekat pada
dinding Rahim.
c. Perdarahan masuk kedalam kantong
ketuban setelah selaput ketuban pecah karenanya.
d. Bagian terbawah janin, umumnya
kepala, menempel ketat pada segmen bawah Rahim.
Dalam klinis solusio plasenta dibagi
ke dalam berat ringannya gambaran klinik sesuai dengan luasnya permukaan
plasenta yang terlepas, yaitu
·
Solusio
plasenta ringan :
Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25%, atau ada yang menyebutkan kurang
dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya kurang dari 250ml. Tumpahan
darah yang keluar terlihat seperti pada haid bervariasi dan sedikit sampai
seperti menstruasi yang banyak. Gejala – gejala perdarahan sukar dibedakan dari
plasenta previa kecuali warna darah yang kehitaman. Komplikasi terhadap ibu dan
janin belum ada.
·
Sulusio
plasenta sedang : Luas
plasenta yang terlepas telah melebihi 25%, tetapi belum mencapai sepenuhnya
(50%). Jumlah darah yang keluar lebih banyak dari 200ml tetapi belum mencapai
1000 ml. Umumnya pertumpahan darah terjadi keluar dan kedalam bersama – sama.
Gejala – gejala dan tanda – tanda sudah jelas seperti rasa nyeri pada perut yang
terus – menerus, denyut jantung janin menjadi cepat, hipotensi dan takikardia.
·
Solusio
plasenta
berat :
Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%, dan jumlah darah yang keluar
telah mencapai 1000ml atau lebih. Pertumpahan darah bisa terjadi keluar jauh
kedalam bersama – sama. Gejala – gejala dan tanda – tanda klinik jelas, keadaan
umum penderita buruk disertai syok, dan hamper semua janinnya telah meninggal.
Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai pada oliguria biasanya telah
ada.
2.
Patofisiologi
Solusio Plasenta
Sesungguhnya solusio plasenta
merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula dari suatu keadaan yang
mampu memisahkan vili – vili korialis plasenta dari tempat implantasinya pada
desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Oleh karena itu, patofisiologi
bergantung pada etiologi. Pada trauma abdomen etiologinya jelas karena robeknya
pembuluh darah di desidua.
Dalam banyak kejadian perdarahan
berasal dari kematian sel (apoptosis) yang disebabkan oleh iskemia dan
hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat menyebabkan pembentuka thrombosis dalam
pembuluh darah desidua atau dalam vascular vili dapat berujung kepada iskemia
dan hipoksia setempat yang menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan
perdarahan sebagai hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua
barsalis terlepas kecuali lapisan tipis yang tetap melekat pada myometrium.
Dengan demikian, pada tingkat permulaan sekali dari proses terdiri atas
pembentukan hematoma yang bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi
dan kerusakan pada bagian plasenta sekelilingnya yang berdekatan. Pada awalnya
mungkin belum ada gejala kecuali terdapat hematoma pada bagian belakang
plasenta yang baru lahir. Dalam beberapa kejadian pembentukan hematoma retroplasenta
disebabkan oleh putusnya arteri spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenta
mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal atau
plasenta ke sirkulasi janin. Hematoma yang terbentuk dengan cepat meluas dan
melepaskan plasenta lebih luas atau banyak sampai ke pinggirnya sehingga darah
yang keluar merembes antara selaput ketuban dan myometrium untuk selanjutnya
keluar melalui serviks ke vagina (revealed hemorrhage). Perdarahan tidak
bisa berhenti, karena uterus yang lagi mengandung tidak mampu berkontrasi untuk
menjepit pembuluh arteri spiralis yang terputus. Walaupun jarang, terdapat
perdarahan tinggal terperangkat di dalam uterus (concealed hemorrhage).
Terdapat beberapa keadaan yang secara teoritis dapat berakibat kematian sel karena
iskemia dan hipoksia pada desidua yaitu :
·
Pada
pasien dengan koriomnionitis
·
Kelainan
genetic berupa defisiensi protein C dan protein S
·
Pada
pasien dengan penyakit trombofilia
·
Keadaan
hyperhomocysteinemia
·
Nikotin
dan kokain yang keduannya dapat menyebabkan vasokonstriksi yang bisa
menyebabkan iskemia dan pada plasenta sering dijumpai bermacam lesi seperti
infark, oksidatif stress, apoptosis, dan nekrosis, yang kesemuanya ini
berpotensi merusak hubungan uterus dengan plasenta yang berujung pada solusio
plasenta.
3.
Penatalaksanaan
Solusio Plasenta
Dalam kasus solusio plasenta, adapun
penatalaksanaan atau penanganan dari solusio plasenta adalah
a.
Lakukan
uji pembekuan darah. Kegagalan terbentuknya bekuan darah setelah 7 menit atau
terbentuknya bekuan darah lunak yang mudah terpecah menunjukkan adanya
koagulopati.
b.
Transfusi
darah segar
c.
Jika
terjadi perdarahan hebat (nyata atau tersembunyi), lakukan persalinan segera,
jika:
·
Pembukaan
serviks lengksap, persalinan dengan ekstrasi vakum
·
Pembukaan
serviks belum lengkap, persalinan dengan seksio sesarea.
Catatan :
Pada setiap kasus solusio plasenta, waspadalah terhadap kemungkinan terjadinya
perdarahan pasca persalinan.
d. Jika perdarahan ringan atau sedang
(dimana ibu tidak ada dalam bahaya) tindakan bergantung pada denyut jantung
janin (DJJ).
·
DJJ
normal atau tidak terdengar, pecahkan ketuban dengan kokher.
- Jika
kontraksi jelek, perbaiki dengan pemberian oksitosin.
- Jika
serviks kenyal, tebal, dan tertutup, lakukan seksio sesaria.
·
DJJ
abnormal (kurang dari 100 atau lebih dari 180/menit )
- Lakukan
persalinan pervaginam segera
- Jika
persalinan pervaginam tidak memungkinkan, akhiri persalinan dengan seksio
sesaria.
C.
RUPTUR
UTERI
1.
Pengertian
Ruptur Uteri
Ruptur uteri adalah robekan
(diskontinuitas) dinding rahim yang terjadi saat kehamilan atau persalinan.
Ruptur uteri bisa terjadi pada persalinan dan bisa pula terjadi pada kehamilan
tua.
Ruptur uteri yang terjadi pada
persalinan adalah ruptur uteri spontan, ruptur uteri spontan terjadi karena
gangguan mekanisme persalinan sehingga menimbulkan ketegangan segmen bawah
rahim yang berlebihan, dan ruptur uteri traumatik, ruptur uteri ini terjadi
karena adanya tindakan seperti ekstrasi forsep, ekstrasi vakum dan veri
ektrasi. Sedangkan ruptur uteri yang terjadi pada kehamilan tua adalah ruptur
uteri bekas luka uterus, ruptur ini terjadi spontan, terjadi bekas seksio
sesarea dan bekas operasi pada uterus.
Menurut robekannya ruptur uteri dibedakan menjadi :
a. Ruptur uteri kompleta
Bila
peritoneum viserale ikut robek dan dengan demikian terdapat hubungan langsung
antara cavum uteri dengan cavum abdomen
·
Jaringan
peritoneum ikut robek
·
Janin
terlempar ke ruangan abdomen
·
Terjadi
perdarahan ke dalam ruangan abdomen
·
Mudah
terjadi infeksi
b. Ruptur uteri inkompleta
Bila
peritoneum visarela tidak ikut robek atau lapisan perimetrium masih utuh
·
Jaringan
peritoneum ikut robek
·
Janin
tidak terlempar ke dalam ruangan abdomen
·
Perdarahan
ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi
·
Perdarahan
dapat menuju ke liang senggama (vagina)
·
Perdarahan
dapat dalam bentuk hematoma
2. Patofisiologi Ruptur uteri
Pada saat his korpus uteri
berkontraksi dan mengalami retraksi, dinding korpus uteri atau segmen atas
rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil.
Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke bawah dan ke
dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar karena
dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik ke atas oleh kontraksi segmen
atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang
membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian terbawah janin
tidak dapat terdorong karena sesuatu sebab yang menahannya (misalnya panggul
sempit atau kepala janin besar) maka volume korpus yang tambah mengecil pada
saat his harus diimbangi oleh perluasan segmen bawah rahim ke atas. Dengan
demikian, lingkaran retraksi fisiologi semakin (physiologic retraction
ring) semakin meninggi ke arah pusat melewati batas fisiologi menjadi patologi
(pathologic retraction ring) lingkaran patologik ini di sebut lingkaran Bandl
(ring van Bandl). Segmen bawah rahim terus menerus tertarik ke arah proksimal,
tetapi tertahan oleh serviks dan his berlangsung kuat terus menerus tetapi
bagin terbawah janin tidak kunjung turun ke bawah melalui jalan lahir,
lingkaran retraksi makin lama semakin meninggi dan segmen bawah rahim semakin
tertarik ke atas sembari dindingnya sangat tipis hanya beberapa milimeter saja
lagi. Ini menandakan telah terjadi ruptur imminens dan rahim yang
terancam robek pada saat his berikut berlangsung dindinng segmen bawah rahim
akan robek spontan pada tempat yang tertipis dan terjadilah perdarahan. Jumlah
perdarahan tergantung pada luas robekan yang terjadi dan pembuluh darah yang
terputus.
3. Tanda-tanda Ruptura Uteri
·
Sakit
perut mendadak , malahan seringkali pasien merasakan seperti ada sesuatu yang
robek di dalam perutnya.
·
Perdarahan
pervaginam
·
Syok
yang cenderung tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar pervaginam , karena
banyak perdarahan intra abdominal
·
Disertai
sesak napas sebagai akibat penekanan dan perangsangan diafragma oleh darah
intra-abdominal yang banyak
·
Biasanya
bagian-bagian janin teraba dengan jelas di bawah kulit dinding perut , disertai
hilangnya bunyi jantung serta tanda-tanda abdomen akut ( nyeri perut spontan,
disertai dinding perut tegang seperti papan )
·
Kadang-kadang
dijumpai urine yang hemoragis, yakni bila dinding vesika urinaria sudah ikut
terlibat dengan kerobekan tersebut
4. Penatalaksaan Ruptura Uteri
·
Segera
atasi syok dan pasien dan pasien dipersiapkan secepatnya untuk laparotomi,
pasang infuse cairan intravena ( NaCl 0,9% atau ringer laktat ) , pemberian
darah, oksigen dan antibiotika ( biasanya golongan penisilin dengan dosis tinggi
, diberikan sebelum dan setelah pembedahan )
·
Untuk
RUI ( Ruptura uteri imminens )
·
Hentikan
/ kurangi kontraksi rahim ( stop drip oksitosin jika pasien dalam akselerasi ),
berikan oksigen 4-6 L/menit
·
Berikan
analgetika yang reaksinya cepat ( misalnya ketoprofen suppositoria), sekaligus
dapat berfungsi sebagai tokolitik ( antiprostaglandin )
·
Dapat
diberikan tokolisis dengan hati-hati ( misalnya salbutamol bolus )
·
Melahirkan
bayi secepatnya , bila memenuhi syarat diusahakan agar dapat melahirkan pervaginam
dan bisa syarat tidak dapat terpenuhi dapat segera dilakukan seksio sesarea
Daftar
Pustaka
Bagian Obstetri dan Ginekologi
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. 1984. Obstetri Patologi.
Bandung : Elstar Offset.
Manuaba , Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu
Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan.
Jakarta : EGC
M. Achadiat, Crisdiono.2003. Prosedur
Tetap Obstetri & Ginekologi : Jakarta. Buku Kedokteran EGC.
Prawiroharjo, Sarwono.2009.Ilmu
Kebidanan.Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar