Rabu, 13 Mei 2015

Perdarahan Pervaginam pada Kehamilan Usia Lanjut



Perdarahan Pervaginam pada Kehamilan Usia Lanjut


A.    PLACENTA PREVIA
1.         Pengertian dan klasifikasi placenta previa
Placenta previa berasal dari kata “prae” yang berarti di depan, dan “vias” yang berarti jalan. Placenta previa adalah placenta yang berimplantasi pada Segmen Bawah Rahim (SBR) sehingga menutupi seluruh atau sebagian dari ostium uteri internum pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu. Placenta previa lebih banyak terjadi pada kehamilan dnegan paritas tinggi dan pada usia di atas 30 tahun.
Sejalan dengan bertambah besarnya rahim dan meluasnya SBR ke arah proksimal memungkinkan placenta yang berimplantasi pada SBR ikut berpindah mengikuti perluasan SBR seolah placenta tersebut bermigrasi. Ostium uteri yang secara dinamik mendatar dan meluas dalam persalinan kala I bisa mengubah luas pembukaan serviks yang tertutup oleh placenta. Fenomena ini berpengaruh pada derajat atau klasifikasi dari placenta previa ketika pemeriksaan dalam masa antenatal maupun intranatal, baik dengan pemeriksaan USG maupun digital.
Klasifikasi dari placenta previa antara lain :
·         Plasenta previa totalis/komplit, adalah placenta yang menutupi seluruh OUI.
·         Placenta previa parsialis, adalah placenta yang menutupi sebagian OUI.
·         Placenta previa marginalis, adalah placenta yang tepinya berada pada pinggir OUI.
·         Placenta letak rendah, adalah placenta yang berimplantasi pada SBR sedemikian rupa sehingga tepi bawahnya berada pada jarak lebih kurang 2 cm dari OUI.
2.      Tanda-tanda dari placenta previa
·         Kehamilan 28 minggu atau lebih dengan perdarahan pervaginam yang sifatnya tidak nyeri, dan berupa darah segar. Hal ini disebabkan oleh perdarahan sebelum minggu ke-28 memberi gambaran yang tidak berbeda dari abortus, sedangkan perdarahan pada placenta previa disebabkan karena pergerakan antara placenta dengan dinding rahim.
·         Perdarahan biasanya baru terjadi pada akhir trimester kedua ke atas. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak dan berhenti sendiri. Perdarahan kembali terjadi tanpa sebab yang jelas sehingga berulang. Pada setiap pengulangan terjadi perdarahan yang banyak.
·         Perdarahan terjadi karena serviks dan SBR pada placenta previa lebih rapuh dan mudah mengalami robekan.
·         Keadaan umum sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi.
·         Sering disertai dengan kelainan letak janin. Hali ini dipengaruhi oleh ukuran panjang rahim yang berkurang.
·         Bagian terendah masih tinggi/tidak masuk PAP. Hal ini karena placenta terletak pada kutub bawah rahim, sehingga kepala tidak dapat mendekati PAP.
·         Bunyi jantung anak biasanya ada.
·         Teraba jaringan placenta.
3.      Patofisiologi placenta previa
Placenta previa umumnya terjadi pada usia kehamilan lanjut (TW III) dan mungkin juga lebih awal, karena mulai terbentuknya SBR tapak placenta akan mengalami pelepasan. Dengan melebarnya isthmus uteri menjadi SBR maka placenta yang berimplantasi disana akan mengalami laserasi akibat pelepasan pada desidua sebagai rapak placenta. Begitu juga saat serviks mendatar (effacement) dan membuka (dilatatation) ada bagian tapak placenta yang terlepas. Lokasi laserasi tersebut akan terjadi perdarahan yang berasal dari sirkulasi maternal yaitu dari ruangan intervilus dari placenta.
Oleh karena pembentukan SBR itu, perdarahan pada placenta previa pasti akan terjadi (unavoidable bleeding). Perdarahan di tempat itu relatif dipermudah dan diperbanyak karena SBR dan serviks tidka mampu berkontraksi dengan kuat karena elemen otot yang dimilikinya sangat minimal, akibatnya pembuluh darah pada tempat itu tidak akan tertutup dnegan sempurna. Perdarahan akan berhenti karena terjadi pembekuan, kecuali jika ada laserasi mengenai sinus yang besar dari plasenta maka perdarahan akan berlangsung lebh banyak dan lebih lama. Oleh karena pembentukan SBR berlangsung progresif dan bertahap, maka laserasi baru akan mengulang kejadian perdarahan. Darah yang keluar berwarna merah segar tanpa rasa nyeri.
Pada placenta previa totalis, perdarahan terjadi lebih awal dalam kehamilan karena SBR terbentuk lebih dulu pada bagian terbawah yaitu pada OUI. Sebaliknya placenta previa parsialis atau letak rendah, perdarahan baru terjadi saat mendekati atau mulai persalinan. Perdarahan pertama biasanya sedikit tetapi cenderung lebih banyak pada perdarahan berikutnya. Perdarahan pertama bisa terjadi pada kehamilan di bawah 30 minggu, tetapi kejadiannya lebih banyak pada kehamilan 34 minggu ke atas. Karena terletak dekat dengan OUI, maka perdarahan lebih mudah mengalir keluar rahim dan tidak terbentuk hematoma retro placenta. Dengan demikian sangat jarang terjadi koagulopati pada placenta previa.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dinding SBR yang tipis, mudah diinvasi oleh pertumbuhan vili dari trofoblast, akibatnya placenta melekat lebih kuat pada dinding uterus. Labih sering terjadi placenta akreta, inkreta, dan perkreta, yang pertumbuhan vilinya bisa menembus ke buli-buli dan rektum bersama placenta previa. Placenta akreta dan inkreta lebih sering terjadi pada uterus yang sebelumnya mengalami SC. SBR dan serviks yang rapuh dan mudah robek karena kurangnya elemen otot yang terdapat disana. Dua kondisi ini berpotensi meningkatkan perdarahan pasca persalinan pada placenta previa, misalnya pada kala III karena placenta sukar terlepas dengan sempurna (retensio placenta), atau setelah uri lepas karena SBR tidak mampu berkontraksi dengan baik.

4.      Penatalaksanaan placenta previa
Ada 2 terapi, yaitu :
a.       Terapi aktif : kehamilan segera diakhiri sebelum terjadi perdarahn yang membawa maut.
-          Cara vaginal, yang bermaksud untuk mengadakan tekanan pada placenta dan dengan menutup pembuluh-pembuluh darah yang terbuka.
-          Dengan SC, dengan maksud mengosongkan rahim dapat mengadakan retraksi dan menghentikan perdarahan. SC juga mencegah terjadinya robekan serviks yang agak sering terjadi dengan usaha persalinan pervaginam pada placenta previa.
b.      Terapi ekpektatif : jika janin masih kecil hingga kemungkinan hidup di dunia luar baginnya kecil sekali. Sikap ekspektatif tentu hanya dapat dibenarkan jika keadaan ibu baik dan perdarahan sudah berhenti atau sedikit sekali. Dulu anggapan kita ialah bahwa kehamilan dengan placenta previa harus segera diakhiri untuk menghindarkan perdarahan yang banyak. Tetapi sekarang terapi menunggu dibenarkan dengan alas an
- Perdarahan pertama pada placenta previa jarang fatal.
- Untuk menurunkan kematian bayi karena prematuritas.
Syarat bagi terapi ekspektatif adalah bahwa keadaan ibu masih baik (Hb normal) dan perdarahan tidak banyak. Pada terapi ekspektatif kita rawat pasien di rumah sakit, sampai berat anak kurang lebih 2500 gram, atau kehamilan sudah sampai 37 minggu. Bila kehamilan 37 minggu telah tercapai, kehamilan diakhiri dengan cara yang telah diuraikan. Selanjutnya pada penderita placenta previa selalu harus diberikan antibiotika mengingat kemungkinan infeksi yang besar disebabkan perdarahan dan tindakan-tindakan intrauterin.
Tindakan apa yang kita pilih untuk pengobatan placenta previa dan kapan pelaksanaannya tergantung pada faktor-faktor di bawah :
1)   Perdarahan banyak/sedikit
2)   Keadaan ibu dan anak
3)   Besarnya pembukaan
4)   Tingkat placenta previa
5)   Paritas
Perdarahan yang banyak, pembukaan kecil, nulipara, dan tingkat placenta previa yang berat mendorong kita melakukan SC, sebaliknya perdarahan yang sedang, pembukaan yang sudah besar, multipara, dan tingkat placenta previa yang ringan serta anak yang mati mengarahkan pad usaha pemecahan ketuban. Pada perdarahan yang sedikit dan anak yang masih kecil dipertimbangkan terapi ekspektatif. Perlu dikemukakan cara manapun yang diikuti, persediaan darah yang sangat menentukan.
1)   Cara-cara vaginal terdiri dari :
a)    pemecahan ketuban
b)    versi Braxton Hicks
c)    dengan cunam willett
2)   Sectio Cesarea

B.     SOLUSIO PLASENTA
1.       Pengertian, Klasifikasi dan Tanda – Tanda Solusio Plasenta
Solusio plasenta adalah terlepasnya sebagian atau seluruh permukaan maternal plasenta dari tempat implantasinya yang normal pada lapisan desidua endometrium sebelum waktunya yakni sebelum anak lahir. Adapun pengklasifikasian dari solusion plasenta adalah
a.       Ruptura sinus marginalis: Plasenta dapat terlepas hanya pada pinggirnya saja.
b.      Solusio plasenta parsialis :Plasenta terlepas lebih luas dari pada rupture sinus marginali
c.       Solusio plasenta totalis : Plasenta terlepas dari seluruh permukaan maternal.
      Perdarahan yang terjadi dalam banyak kejadian akan merembes antara plasenta dan myometrium untuk seterusnya menyelinap dibawah selaput ketuban dan akhirnya memperoleh jalan ke kalis servikalis dan keluar melalui vagina (revealed hemorrhage). Akan tetapi, ada kalanya, walaupun jarang, perdarahan tersebut tidak keluar melalui vagina (concealed hemorrhage) jika :
a.       Bagian plasenta sekitar perdarahan masih melekat pada dinding rahim.
b.      Selaput ketuban masih melekat pada dinding Rahim.
c.       Perdarahan masuk kedalam kantong ketuban setelah selaput ketuban pecah karenanya.
d.      Bagian terbawah janin, umumnya kepala, menempel ketat pada segmen bawah Rahim.
Dalam klinis solusio plasenta dibagi ke dalam berat ringannya gambaran klinik sesuai dengan luasnya permukaan plasenta yang terlepas, yaitu
·         Solusio plasenta ringan           : Luas plasenta yang terlepas tidak sampai 25%, atau ada yang menyebutkan kurang dari 1/6 bagian. Jumlah darah yang keluar biasanya kurang dari 250ml. Tumpahan darah yang keluar terlihat seperti pada haid bervariasi dan sedikit sampai seperti menstruasi yang banyak. Gejala – gejala perdarahan sukar dibedakan dari plasenta previa kecuali warna darah yang kehitaman. Komplikasi terhadap ibu dan janin belum ada.
·         Sulusio plasenta sedang          : Luas plasenta yang terlepas telah melebihi 25%, tetapi belum mencapai sepenuhnya (50%). Jumlah darah yang keluar lebih banyak dari 200ml tetapi belum mencapai 1000 ml. Umumnya pertumpahan darah terjadi keluar dan kedalam bersama – sama. Gejala – gejala dan tanda – tanda sudah jelas seperti rasa nyeri pada perut yang terus – menerus, denyut jantung janin menjadi cepat, hipotensi dan takikardia.
·         Solusio plasenta berat             : Luas plasenta yang terlepas sudah melebihi 50%, dan jumlah darah yang keluar telah mencapai 1000ml atau lebih. Pertumpahan darah bisa terjadi keluar jauh kedalam bersama – sama. Gejala – gejala dan tanda – tanda klinik jelas, keadaan umum penderita buruk disertai syok, dan hamper semua janinnya telah meninggal. Komplikasi koagulopati dan gagal ginjal yang ditandai pada oliguria biasanya telah ada.
2.      Patofisiologi Solusio Plasenta
Sesungguhnya solusio plasenta merupakan hasil akhir dari suatu proses yang bermula dari suatu keadaan yang mampu memisahkan vili – vili korialis plasenta dari tempat implantasinya pada desidua basalis sehingga terjadi perdarahan. Oleh karena itu, patofisiologi bergantung pada etiologi. Pada trauma abdomen etiologinya jelas karena robeknya pembuluh darah di desidua.
Dalam banyak kejadian perdarahan berasal dari kematian sel (apoptosis) yang disebabkan oleh iskemia dan hipoksia. Semua penyakit ibu yang dapat menyebabkan pembentuka thrombosis dalam pembuluh darah desidua atau dalam vascular vili dapat berujung kepada iskemia dan hipoksia setempat yang menyebabkan kematian sejumlah sel dan mengakibatkan perdarahan sebagai hasil akhir. Perdarahan tersebut menyebabkan desidua barsalis terlepas kecuali lapisan tipis yang tetap melekat pada myometrium. Dengan demikian, pada tingkat permulaan sekali dari proses terdiri atas pembentukan hematoma yang bisa menyebabkan pelepasan yang lebih luas, kompresi dan kerusakan pada bagian plasenta sekelilingnya yang berdekatan. Pada awalnya mungkin belum ada gejala kecuali terdapat hematoma pada bagian belakang plasenta yang baru lahir. Dalam beberapa kejadian pembentukan hematoma retroplasenta disebabkan oleh putusnya arteri spiralis dalam desidua. Hematoma retroplasenta mempengaruhi penyampaian nutrisi dan oksigen dari sirkulasi maternal atau plasenta ke sirkulasi janin. Hematoma yang terbentuk dengan cepat meluas dan melepaskan plasenta lebih luas atau banyak sampai ke pinggirnya sehingga darah yang keluar merembes antara selaput ketuban dan myometrium untuk selanjutnya keluar melalui serviks ke vagina (revealed hemorrhage). Perdarahan tidak bisa berhenti, karena uterus yang lagi mengandung tidak mampu berkontrasi untuk menjepit pembuluh arteri spiralis yang terputus. Walaupun jarang, terdapat perdarahan tinggal terperangkat di dalam uterus (concealed hemorrhage). Terdapat beberapa keadaan yang secara teoritis dapat berakibat kematian sel karena iskemia dan hipoksia pada desidua yaitu :
·         Pada pasien dengan koriomnionitis
·         Kelainan genetic berupa defisiensi protein C dan protein S
·         Pada pasien dengan penyakit trombofilia
·         Keadaan hyperhomocysteinemia
·         Nikotin dan kokain yang keduannya dapat menyebabkan vasokonstriksi yang bisa menyebabkan iskemia dan pada plasenta sering dijumpai bermacam lesi seperti infark, oksidatif stress, apoptosis, dan nekrosis, yang kesemuanya ini berpotensi merusak hubungan uterus dengan plasenta yang berujung pada solusio plasenta.


3.      Penatalaksanaan Solusio Plasenta
Dalam kasus solusio plasenta, adapun penatalaksanaan atau penanganan dari solusio plasenta adalah
a.         Lakukan uji pembekuan darah. Kegagalan terbentuknya bekuan darah setelah 7 menit atau terbentuknya bekuan darah lunak yang mudah terpecah menunjukkan adanya koagulopati.
b.         Transfusi darah segar
c.         Jika terjadi perdarahan hebat (nyata atau tersembunyi), lakukan persalinan segera, jika:
·         Pembukaan serviks lengksap, persalinan dengan ekstrasi vakum
·         Pembukaan serviks belum lengkap, persalinan dengan seksio sesarea.
Catatan : Pada setiap kasus solusio plasenta, waspadalah terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan pasca persalinan.
d.      Jika perdarahan ringan atau sedang (dimana ibu tidak ada dalam bahaya) tindakan bergantung pada denyut jantung janin (DJJ).
·         DJJ normal atau tidak terdengar, pecahkan ketuban dengan kokher.
- Jika kontraksi jelek, perbaiki dengan pemberian oksitosin.
- Jika serviks kenyal, tebal, dan tertutup, lakukan seksio sesaria.
·         DJJ abnormal (kurang dari 100 atau lebih dari 180/menit )
- Lakukan persalinan pervaginam segera
- Jika persalinan pervaginam tidak memungkinkan, akhiri persalinan dengan seksio sesaria.

C.    RUPTUR UTERI
1.      Pengertian Ruptur Uteri
Ruptur uteri adalah robekan (diskontinuitas) dinding rahim yang terjadi saat kehamilan atau persalinan. Ruptur uteri bisa terjadi pada persalinan dan bisa pula terjadi pada kehamilan tua.
Ruptur uteri yang terjadi pada persalinan adalah ruptur uteri spontan, ruptur uteri spontan terjadi karena gangguan mekanisme persalinan sehingga menimbulkan ketegangan segmen bawah rahim yang berlebihan, dan ruptur uteri traumatik, ruptur uteri ini terjadi karena adanya tindakan seperti ekstrasi forsep, ekstrasi vakum dan veri ektrasi. Sedangkan ruptur uteri yang terjadi pada kehamilan tua adalah ruptur uteri bekas luka uterus, ruptur ini terjadi spontan, terjadi bekas seksio sesarea dan bekas operasi pada uterus.
            Menurut robekannya ruptur uteri dibedakan menjadi :
a.       Ruptur uteri kompleta
Bila peritoneum viserale ikut robek dan dengan demikian terdapat hubungan langsung antara cavum uteri dengan cavum abdomen
·         Jaringan peritoneum ikut robek
·         Janin terlempar ke ruangan abdomen
·         Terjadi perdarahan ke dalam ruangan abdomen
·         Mudah terjadi infeksi
b.      Ruptur uteri inkompleta
Bila peritoneum visarela tidak ikut robek atau lapisan perimetrium masih utuh
·         Jaringan peritoneum ikut robek
·         Janin tidak terlempar ke dalam ruangan abdomen
·         Perdarahan ke dalam ruangan abdomen tidak terjadi
·         Perdarahan dapat menuju ke liang senggama (vagina)
·         Perdarahan dapat dalam bentuk hematoma

2.      Patofisiologi Ruptur uteri
Pada saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi, dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke bawah dan ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar karena dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik ke atas oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian terbawah janin tidak dapat terdorong karena sesuatu sebab yang menahannya (misalnya panggul sempit atau kepala janin besar) maka volume korpus yang tambah mengecil pada saat his harus diimbangi oleh perluasan segmen bawah rahim ke atas. Dengan demikian, lingkaran retraksi fisiologi  semakin (physiologic retraction ring) semakin meninggi ke arah pusat melewati batas fisiologi menjadi patologi (pathologic retraction ring) lingkaran patologik ini di sebut lingkaran Bandl (ring van Bandl). Segmen bawah rahim terus menerus tertarik ke arah proksimal, tetapi tertahan oleh serviks dan his berlangsung kuat terus menerus tetapi bagin terbawah janin tidak kunjung turun ke bawah melalui jalan lahir, lingkaran retraksi makin lama semakin meninggi dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas sembari dindingnya sangat tipis hanya beberapa milimeter saja lagi. Ini  menandakan telah terjadi ruptur imminens dan rahim yang terancam robek pada saat his berikut berlangsung dindinng segmen bawah rahim akan robek spontan pada tempat yang tertipis dan terjadilah perdarahan. Jumlah perdarahan tergantung pada luas robekan yang terjadi dan pembuluh darah yang terputus.

3.      Tanda-tanda Ruptura Uteri
·         Sakit perut mendadak , malahan seringkali pasien merasakan seperti ada sesuatu yang robek di dalam perutnya.
·         Perdarahan pervaginam
·         Syok yang cenderung tidak sesuai dengan jumlah darah yang keluar pervaginam , karena banyak perdarahan intra abdominal
·         Disertai sesak napas sebagai akibat penekanan dan perangsangan diafragma oleh darah intra-abdominal yang banyak
·         Biasanya bagian-bagian janin teraba dengan jelas di bawah kulit dinding perut , disertai hilangnya bunyi jantung serta tanda-tanda abdomen akut ( nyeri perut spontan, disertai dinding perut tegang seperti papan )
·         Kadang-kadang dijumpai urine yang hemoragis, yakni bila dinding vesika urinaria sudah ikut terlibat dengan kerobekan tersebut

4.      Penatalaksaan Ruptura Uteri
·         Segera atasi syok dan pasien dan pasien dipersiapkan secepatnya untuk laparotomi, pasang infuse cairan intravena ( NaCl 0,9% atau ringer laktat ) , pemberian darah, oksigen dan antibiotika ( biasanya golongan penisilin dengan dosis tinggi , diberikan sebelum dan setelah pembedahan )
·         Untuk RUI ( Ruptura uteri imminens )
·         Hentikan / kurangi kontraksi rahim ( stop drip oksitosin jika pasien dalam akselerasi ), berikan oksigen 4-6 L/menit
·         Berikan analgetika yang reaksinya cepat ( misalnya ketoprofen suppositoria), sekaligus dapat berfungsi sebagai tokolitik ( antiprostaglandin )
·         Dapat diberikan tokolisis dengan hati-hati ( misalnya salbutamol bolus )
·         Melahirkan bayi secepatnya , bila memenuhi syarat diusahakan agar dapat melahirkan pervaginam dan bisa syarat tidak dapat terpenuhi dapat segera dilakukan seksio sesarea







Daftar Pustaka
Bagian Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung. 1984. Obstetri Patologi. Bandung : Elstar Offset.
Manuaba , Ida Bagus Gde. 1998. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC
M. Achadiat, Crisdiono.2003. Prosedur Tetap Obstetri & Ginekologi : Jakarta. Buku Kedokteran EGC.
Prawiroharjo, Sarwono.2009.Ilmu Kebidanan.Jakarta : PT. Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

HUT IBI Cabang Nganjuk Ke 66